Kamis, 31 Maret 2011

Justin Bieber: The Adventures of Super Boy

imageJakarta - Hari ini, saya adalah perempuan paling beruntung di dunia. Saya sedang terbang ke Atlanta untuk bertemu cowok budaya pop idaman saya, Justin Bieber. Memang, dia baru berusia 17 tahun, namun separuh umat wanita jatuh cinta dengannya, seperti Kim Kardashian (yang ingin- menghabiskan Hari Valentine dengan poster Bieber berukuran orang aslinya), Rihanna (yang membicarakan perut kotak-kotak Bieber di Twitter) dan Katy Perry (yang pernah berkata, “I would tap that. Yummy.”).

Bagi para Belieber, Justin adalah anak yang paling imut, berbakat dan sensual di dunia. Saya sudah menonton semua videonya masing-masing setidaknya selusin kali, saya punya dua dari tiga albumnya, dan dia ada di feed Twitter saya (walau saya belum pernah memintanya meretweet nama saya saat ulang tahun, atau memintanya mengirim ciuman virtual, atau membeli helai-helai rambutnya di eBay untuk kalung saya.)

Ini akan jadi hari yang seru – Justin bahkan akan mengajak saya berselancar es! – tapi dia terlambat sejam, dan saya masih menantinya pada pukul 10 pagi. Lalu, saya melihat sebuah Ranger Rover hitam yang diam di seberang jalan – itu Biebermobile, yang dibelinya setelah mendapat SIM pada tahun lalu. Dia membunyikan klakson dan saya bergegas ke sana, lalu membuka pintu.

Di saat itulah khayalan romantisnya terhenti. Fantasi perempuan seputar Bieber berkaitan dengan keinginan menjadikannya pacar sejati yang pertama – atau, bagi wanita-wanita yang lebih dewasa, dia mengingatkan mereka pada masa pacaran yang pertama. Namun begitu saya bertemu Bieber, saya sadar bahwa fantasi tidak sama dengan realita.

Orang dengan berat 55 kilogram dan tinggi sekitar 167 cm di kursi pengemudi Range Rover yang besar ini adalah anak kecil – anak kecil yang percaya diri dan, sebagaimana semestinya hidup seperti di dunia sempitnya sendiri, tak tertarik pada fantasi selain miliknya sendiri. “Yo, sorry for being late,” katanya. “Macet.” Dia menguap. “Sangat pagi. Tampaknya orang-orang pergi kerja. Kerja? Apa itu?”

Bieber mengendarai mobilnya melalui gedung-gedung tinggi di pusat kota Atlanta, dengan satu tangan di setir. “Kita pergi ke IHOP, bukan?” katanya kepada pengawalnya, yang duduk di kursi belakang. “Saya selalu memesan crepes di IHOP,” katanya belakangan. “You know, ‘Say you like crepes!’ ‘I will not say it!’ Say you like them!’ ‘Are those those little pancakes? I love those.’ ‘Oh, then just say you like the pancakes...’ ‘No!’ ” Bieber tersenyum puas, lalu mengumumkan dengan penuh gaya, “Talladega Nights.”

Seperti dalam hal anak umur 17 tahun pada umumnya, di mobilnya ada stereo yang dipasang dengan volume memekakkan. Ada momen-momen di mana dia kembali mengutip film. Ada diskusi kenapa dia memakai plester di jari-jarinya: “Entahlah,” katanya. “Saya tidak luka atau apa-apa. Saya memang suka Band-Aid.”

Tiba-tiba, Bieber mengutak-atik sesuatu di giginya, dan seperti anak kucing yang membatukkan gumpalan bulu, tiba-tiba dia mengeluarkan semacam plastik tipis. Dia telah memakai Invisaligns, semacam kawat gigi tembus pandang, selama setahun terakhir. “Gigi saya sakit,” katanya. “Tadinya agak menjulur ke dalam, jadi mereka harus mendorongnya keluar, namun setelah mereka lakukan itu, ada celah kecil di gigi saya, jadi mereka harus mendorong itu masuk lagi,” katanya. Dia cemberut sesaat, lalu memasukkan kawat giginya lagi. Dan harus saya akui dia terlihat menggemaskan saat melakukannya. “Ow.”

Bahkan dengan kawat giginya, Bieber adalah anak paling keren di Amerika, yang telah mendominasi semua media dalam tahun terakhir berkat suaranya yang manis, gerak tarinya yang lincah dan kemampuan ajaibnya dalam membuat celana dalam basah. Dia menaklukkan semua di hadapannya, lewat musik, buku, film tiga dimensi Never Say Never dan Internet, dengan jumlah view di Twitter, Facebook dan YouTube yang melebihi jumlah penduduk di kota-kota Amerika berukuran sedang.

Ke mana pun dia pergi, ada kemelut: gadis terinjak-injak sebelum konsernya di Sydney, pertokoan di Long Island yang kepenuhan dan nyaris terjadi kerusuhan di bandara Selandia Baru. “Mereka tergila-gila pada Justin, dan itu karena dia ganteng,” kata L.A. Reid, kepala Island Def Jam, perusahaan rekaman Bieber. “Cewek-cewek mencintainya. Mereka merasa dia adalah pacar mereka, bahwa ada peluang bagi mereka. Justin menjual mereka mimpi, dan mereka mempercayainya mentah-mentah.”

Bieber fever telah mencapai titik di mana dia sudah tidak bisa mengadakan konser di tempat-tempat tanpa kursi. “Tanpa kursi, akan ada gerombolan saling mendorong, dan walau itu adalah gadis-gadis kecil, mereka akan merangkak di atas sesama dengan lengan dan siku, dan akan cedera,” kata Kenny Hamilton, pengawal Bieber.

Bieber tak ingin penggemarnya sakit, namun dia tidak banyak berpikir tentang alasan di balik kegilaan itu, kenapa begitu banyak gadis rela melepas keperawanan kepadanya. “Saya benar-benar tidak tahu kenapa mereka bersikap seperti itu,” kata Bieber, sambil melepas kawat giginya lagi, tapi kali ini dia tidak mengeluarkannya – dia membiarkannya di mulut. “Terus terang? Saya tidak memikirkannya. Sikap saya adalah, untuk apa mempertanyakan kalau keadaan berjalan bergitu baik? Ain’t no questions that should be asked in this situation!” Dia mengangguk, tertawa lalu mengangkat bahu. “They love me, and that’s it.”

Begitulah cara bicara Bieber, riang dan agak elegan, dengan sedikit Ebonics – mirip dengan kebanyakan anak kulit putih keren di Amerika, walau dia sebenarnya dari Kanada. “Saya takkan pernah menjadi warga Amerika,” katanya, lalu menambahkan dengan setengah bercanda, “Kalian jahat. Kanada adalah negara berbaik di dunia.” Saat ditanya tentang alasan keunggulan Kanada, dia menyebut berbagai hal, termasuk mahasiswa Amerika yang berlibur dengan memasang bendera kanada di ransel agar menghindari masalah, serta jaminan kesehatan.

“Kalau pergi ke dokter, kami tidak perlu khawatir soal pembayaran. Tapi di sini, sepanjang hidup, kita menjadi miskin karena tagihan medis,” kata Bieber. “Bayi pengawal saya prematur, dan sekarang dia harus membayarnya. Di Kanada, kalau bayi kita prematur, dia tetap dirawat di rumah sakit selama dibutuhkan, baru pulang.”

Betul, Bieber memang punya sisi simpatik dan emosional, namun itu tidak berarti dia melamun tentang cewek seperti di album-albumnya, di mana dia selalu berbicara tentang jatuh cinta, atau bertanya-ta-nya kenapa kekasihnya mencampakkannya, atau tentang “first dance” yang akan dilakukan dengan kita, di mana dia berjanji “to be gentle”, karena dia tahu “we gotta do it slowly.

Dalam kehidupan nyata, Bieber adalah penggemar berat hip-hop. Di Range Rover-nya, dia memainkan album-album sahabatnya, Lil Twist, Lil Wayne dan Soulja Boy, terutama lagu tentang bangun tidur untuk menghidupkan “swag”-nya, karena dia sedang “look in the mirror” untuk berkata “what’s up, yeah, I’m getting money, oh.”
“Swag” adalah kata kesukaan Bieber, dan dia menyelipkannya ke dalam ratusan kalimat di hari ini. Dia menunjuk ke kaus hitam gombrongnya yang ada gambar Mickey Mouse. “Lihat, Mickey memakai kalung di sini, maka saya juga pakai,” katanya. “Swag.” Kalung itu juga “swag”, tentunya, dengan dog tag dan salib terbuat dari berlian hitam yang mengayun ke sana kemari di depan dadanya saat dia berkeliling kota. “Benar, saya memakai berlian hitam, bukan berlian biasa,” katanya, sambil menganggukkan kepala, “because I’m not flashy, just flossssy.”

Di IHOP, Bieber duduk di balik meja nyaris tanpa melihat apakah ada yang mengenalinya. “Sekarang jam 11 siang, jadi adanya orang-orang tua di IHOP,” katanya. “Kalau datang ke sini setelah empat sore, lain ceritanya, tapi sekarang anak-anak masih sekolah. Semua orang di sini sekarang adalah nenek-nenek. Kalau ada ibu-ibu di sini...buruk. Ibu-ibu adalah yang terburuk.”

Dia memesan crepes rasa Nutella dengan pisang dan ditaburi stroberi, lalu melafalkan sekitar 10 lelucon Will Ferrell lagi, termasuk yang dari film The Other Guys tentang ikan tuna yang makan singa, lalu tentang memesan “half-caf” dari film Kicking and Screaming. Dia berbicara tentang rencananya hari ini: Dia harus mampir ke studio, dan mungkin membeli tas perlengkapan mandi karena dia belum punya, dan sekarang harus bawa pernak-pernik dewasa seperti deodoran, keramas dan conditioner, lalu dia harus pergi ke Los Angeles, tempat ia ingin nongkrong dengan temannya, seorang produser musik yang juga baru mendapat SIM, dan mereka mungkin akan mencoba Ferrari.

Dia mungkin akan pindah ke L.A. setelah tur berikutnya, namun dia kurang suka di sana – di L.A., dia menjadi lebih waspada, karena dia tidak bisa jalan kaki ke mana-mana dan selalu dibuntuti paparazzi. “I hate paparazzi,” katanya. “Mereka pengintai yang membawa kamera. Jika seseorang mengikuti kita, itu adalah kejahatan, tapi kalau mereka bawa kamera, itu tak apa-apa? Saya sama sekali tidak setuju dengan itu.”

Namun ada satu hal yang saya tak dengar dari jadwalnya hari ini. Bagaimana dengan janji bermain selancar es bersama? “Apa, ada yang bilang kita akan bermain selancar es?” katanya, sambil menaikkan alis untuk mengungkapkan bahwa dia merasa ide itu norak.

Ketika tagihan restorannya tiba, saya berusaha membayar, namun dia mengeluarkan kartu. “Saya punya kartu kredit,” katanya dengan sesumbar, namun berubah pikiran. “Sebenarnya ini kartu bank, yang semacam kartu kredit. Karena kartu ini memang berisi kredit, dan kredit berarti kita tidak perlu membawa uang...”

Selanjutnya baca edisi 72

(RS/RS)


0 komentar:

Posting Komentar

Kalau mau Download atau hanya membaca artikel, Tolong Komentarnya ya, untuk kemajuan Blog Ini . .
Terima Kasih

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Dwiky Satrio